DOT SUSU DAN DAMPAKNYA BAGI ANAK BALITA

Leave a comment

Dot dapat berguna selama beberapa bulan pertama usia seorang anak. Dot dapat membantu menenangkan bayi dan memuaskan gerakan refleks mengisapnya ketika ia tidak lapar. Dot juga membantu para bayi yang kesulitan menetapkan pola-pola mengisap yang baik. Namun kadang kala penggunaan dot dapat menyebabkan berbagai masalah yang berkenaan dengan perkembangan gerak oral dan bicara.

Berlawanan dengan mitos, memberikan dot kepada seorang anak tidak akan mencegahnya mengisap jempolnya. Merupakan hal yang lumrah apabila seorang bayi mengisap jempolnya selama beberapa bulan pertama. Perilaku ini biasanya hilang dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya usia si anak. Apabila anda membiarkan anak anda terbiasa selalu mengulum sesuatu dimulutnya, ia mungkin akan mulai mengisap jempolnya ketika anda membuang dotnya.

Bagaimana Anda dapat menjauhkan dirinya dari dot tercintanya itu ?

Beberapa ibu melakukannya dengan cara mengumpulkan semua dot dirumah mereka dan mengatakan kepada anak-anak mereka bahwa mereka akan memberikan dot-dot tersebut kepada para bayi yang baru lahir diluar sana, kemudian membuang semuanya ke tempat sampah. Sebagian orang tua memukul-mukul lubang dot agar menjadi tidak nyaman dihisap. Sebagian lain membuang semua dot begitu saja sehingga mereka tidak merasa tergoda untuk menyerahkannya kepada anak selama hari-hari pertama yang sulit setelah penghentian itu.

Beberapa dokter gigi anak menyarankan para orang tua untuk membatasi atau menghentikan anak mereka dari penggunaan dot setelah usia 6 bulan. Apabila anak Anda lengket dengan dotnya, cobalah untuk membatasi penggunaannya hanya pada saat sebelum tidur sampai Anda dapat menjauhkannya dari anak Anda sepenuhnya.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang lebih jarang menggunakan dot mengalami berbagai infeksi telinga 33% lebih sedikit. Ada dua penyebabnya : pertama, sulit menjaga dot agar tetap bersih, terutama apabila digunakan sepanjang hari. Selain berbagai infeksi telinga, bakteri yang ditemukan di dot dapat membuat seorang bayi lebih mudah terkena diare. (madu juga bisa terkontaminasi oleh bakteri tertentu dan tidak boleh dioleskan pada dot). Kedua, dot dapat meningkatkan produksi air liur, yang memudahkan tumbuhnya jamur dan merubah jenis-jenis bakteri yang ada dimulut. Apabila anak Anda mengisapnya secara terus menerus, makin tinggilah resiko bagi bibit-bibit penyakit itu untuk berpindah ke telinga tengah.

Berbagai penelitian terbaru mulai menunjukkan bahwa dot bisa juga meningkatkan resiko kelainan bentuk mulut anak Anda. Beberapa anak mungkin akan mengalami gigi tonggos atau masalah susunan gigi lainnya yang memerlukan bantuan ahli gigi untuk mengatasinya. Dot juga dapat mengancam perkembangan otot-otot mulut. Dot biasanya membuat seorang bayi menggunakan lidahnya dengan gerakan dari depan ke belakang. Seiring dengan bertambahnya usia seorang anak, lidahnya perlu bergerak ke semua arah. Apabila anak Anda tidak dapat menggerakkan lidahnya dari satu sisi ke sisi yang lain dengan lincah, ia bisa mengalami kesulitan saat memakan makanan padat. Apabila ia kesulitan menggerakkan lidahnya ke atas, bawah, atau belakang, ia berisiko tinggi untuk mengalami gangguan bicara.

Tidak semua anak menggunakan dot akan mengalami masalah-masalah tersebut. Namun, adalah hal yang lebih baik apabila mengurangi resiko itu dengan mengurangi penggunaan dot setelah usianya 6 bulan, kemudian menghentikannya sama sekali beberapa bulan sesudahnya. Ingatlah bahwa tanpa sebuah dot dimulutnya, anak Anda akan lebih mungkin mengoceh dan berusaha mengucapkan kata-kata pertamanya.

Usia 2 tahun, paling pas untuk balita mulai minum dari gelas. Namun, memisahkannya dari botol susu kesayangannya bukan main sulitnya. Padahal lubang karet dot itu setiap hari bertambah lebar bekas digigit. Bahkan, ketika diminta memakai gelas, balita malah jadi menangis.

Berikut langkah membantu balita mau minum dari gelas:

  • Ajak anak ketika Anda membelikan gelas untuknya. Minta ia memegang gelas itu sebagai perkenalan awal dengan benda yang akan digunakannya sehari-hari untuk minum.
  • Biarkan balita Anda memilih warna, motif, dan desain gelasnya. Tak masalah jika ingin beberapa buah gelas dengan bentuk berbeda, yang penting pastikan pilihan gelasnya tidak mudah pecah.
  • Izinkan balita Anda menggunakan gelasnya sebagai salah satu alat bermain. Misalnya, untuk memberi minum bonekanya.
  • Beri batasan, ia boleh memakai botol hanya pada malam hari, misalnya. Pagi dan siang hari ia harus minum menggunakan gelas.
  • Letakkan gelas berisi sir dari jangkauan balita. Tanpa perlu memaksa, suatu hari saat dia haus, jangan heran jika dia tiba-tiba minum dari gelasnya.
  • Ajak anak berkumpul dengan teman sebaya yang sudah bisa minum dengan gelas. Siapkan acara minum bersama agar ia terdorong minum dari gelas seperti teman-temanya.

Selamat mencoba Bunda 🙂

KEUNGGULAN MENITIPKAN ANAK DI DAYCARE

Leave a comment

Banyak alasan yang membuat orangtua memutuskan menitipkan anak di daycare. Ada yang tak percaya dengan pola pengasuhan babysitter atau pembantu. Ada yang ingin leluasa menjenguk anak setiap saat karena daycare dekat dengan kantor. Ada yang cuma sementara karena pengasuh di rumah sedang berhalangan.

Di daycare, semua kebutuhan anak terpenuhi tanpa perlu khawatir: pengasuh, makanan bergizi, permainan edukatif, hingga pengembangan karakter.

“Kalau melihat anak saya sendiri, dia jadi lebih mudah bersosialisasi, lebih berani dan nggak malu bergaul,” kata Balgies, seorang seorang wanita karier yang merasakan betul keuntungan menitipkan anaknya sejak bayi di daycare.

Sebelum memutuskan menitipkan anak di daycare, simak beberapa keuntungan yang umumnya ditawarkan.

1. Aktivitas

Anda tak perlu khawatir dengan kegiatan anak di daycare. Anak biasanya mendapat jadwal kegiatan sesuai kebutuhan dan usia. Pada umumnya balita dan bayi memiliki aktivitas berbeda. Misalnya pada pukul 08.00 atau 09.00, bayi akan diajak berjemur di luar ruang. Sementara di saat sama, balita akan mendapat sarapan pagi. Bahkan di beberapa daycare anak memiliki kesempatan memilih kegiatan sesuai minat dan bakatnya. Ada ballet, modelling class, dan public speaking. Terkadang tersedia pula preschool.

2. Menu sehat

Makanan yang disediakan pada jasa penitipan anak biasanya tak hanya bervariasi, tapi juga memiliki perhitungan nutrisi dan kesehatan. Pemberian makan pun sesuai jadwal, yaitu tiga kali sehari ditambah snack dan buah-buahan segar. Di beberapa tempat, orangtua bahkan memiliki kesempatan ikut memilih menu untuk buah hatinya.

3. Pengasuh

Mereka tentu selalu dalam pengawasan manajemen yang profesional. Tak hanya sabar dan telaten, mereka juga umumnya memiliki kemampuan menjadi teman bermain yang cerdas untuk buah hati Anda. Di beberapa daycare, pengasuh bahkan mendapat bimbingan psikolog dan pelatih profesional. Itulah mengapa banyak lebih mempercayakan anak di daycare daripada babysitter atau pembantu di rumah.

4. Permainan edukatif

Anak-anak diajar mengenai kemampuan dasar seperti menggunakan toilet, mencuci tangan, menyikat gigi, dan makan di meja makan dengan cara yang tepat. Ini dilakukan untuk membiasakan anak menjadi lebih mandiri. Pendidikan moral dan tata krama juga biasanya menjadi perhatian. “Saya mau bikin penitipan ini menjadi bagian keluarga mereka. Panggil saya ibu, panggil anak yang lebih besar kakak, yang lebih kecil adik, anak yang lebih besar juga saya ajarkan mengalah,” ujar Yanita Mayang Sari.

5. Fleksibel

Menitipkan anak di daycare bukan suatu ikatan. Banyak daycare yang menawakan program sesuai kebutuhan konsumen: harian, mingguan, atau bulanan. Tarifnya bervariasi tergantung fasilitas. Ada yang mematok Rp125-Rp180 ribu per hari. Ada pula yang sampai Rp2,5 juta per bulan. Dengan fleksibilitas itu, tak heran jika daycare menjadi laris manis usai Lebaran. Saat babysitter atau pembantu belum kembali, sementara orangtua sudah harus kembali bekerja.

(Pipiet Tri Noorastuti, Stella Maris | Kamis, 23 Agustus 2012, 13:45 WIB VIVAlife – )

MENGAPA ANAK SUKA MENGGIGIT?

2 Thoughts

Bagi yang baru pertama kali menjadi orangtua mungkin akan kaget begitu mengetahui bahwa anaknya suka sekali menggigit. Bukan hanya orangtuanya yang suka digigit, tapi bisa juga orang lain. Kadang hal ini membuat orangtua menjadi malu dengan orang lain.

Mempunyai anak yang memiliki kelakuan agresif merupakan bagian yang normal dalam hal perkembangan anak, sama seperti perkembangan kemampuan berbicara, berjalan ataupun perkembangan fisik lainnya. Meskipun dianggap normal tapi sebaiknya tidak diacuhkan, beritahu anak bahwa kelakuan agresif seperti suka menggigit tersebut tidak bagus dan tunjukkan cara lain untuk mengekspresikan perasaannya.

Ada beberapa alasan kenapa anak suka menggigit, seperti dikutip dari Pediatrics, Rabu (9/9/2009):

1. Dalam tahap eksplorasi.

Bayi dan anak yang baru bisa berjalan akan belajar melalui sentuhan, penciuman, apa yang didengar dan apa yang dirasakan. Jika orangtua memberikan suatu barang baru maka anak akan memasukkannya ke dalam mulut, hal ini biasa dilakukan oleh semua anak-anak. Dan kebiasaan tersebut biasanya terbawa hingga suka menggigit orang.

2. Jika ingin tumbuh gigi.

Anak usia 4 sampai 7 bulan merupakan usia seorang anak mulai tumbuh gigi. Gusi yang bengkak atau gatal akan memberikan perasaan tidak nyaman pada anak, sehingga anak akan mencari pelampiasan untuk terbebas dari perasaan tidak nyaman itu yang kadang obyek yang digunakannya adalah orang.

3. Karena ingin protes terhadap sesuatu.

Pada anak usia sekitar 12 bulan lebih akan mencari sesuatu yang menarik dan bisa membuatnya senang. Misalnya dengan memainkan sendok dan menjatuhkannya ke lantai atau membuang mainannya. Namun hal ini biasanya memicu kemarahan orangtua dan melarang hal tersebut. Untuk menunjukkan bentuk protesnya biasanya anak-anak akan menggigit orangtuanya atau berteriak dengan keras.

4. Mencari perhatian orang.

Saat anak berada pada situasi dimana anak-anak tersebut tidak menerima perhatian yang cukup, maka anak akan mencari cara agar diperhatikan oleh orang yaitu dengan cara menggigitnya. Karena anak percaya bahwa cara ini cukup efektif untuk bisa mendapatkan perhatian dari orang lain.

5. Meniru apa yang dilihatnya.

Anak-anak akan meniru apapun yang dilihatnya. Jika anak sering kali melihat tayangan atau kelakuan orang-orang yang suka menggigit, maka hal tersebut akan ditiru oleh anak. Karena anak-anak menganggap hal tersebut bukanlah sesuatu yang berbahaya.

6. Mau mendapatkan apa yang diinginkannya.

Anak-anak berusaha untuk bisa mewujudkan semua keinginannya dan anak percaya bahwa menggigit adalah cara yang paling efektif untuk bisa mengontrol yang lainnya. Seperti jika menginginkan mainan atau teman bermainnya pergi dan membiarkannya sendiri, menggigit adalah cara tercepat untuk bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.

Untuk menghentikan kebiasaan tersebut tidak bisa dengan cara yang keras, karena jika anak semakin dimarahi maka anak akan membuat kebiasaan tersebut semakin menjadi-jadi. Cara yang paling efektif adalah dengan berbicara secara baik-baik, gunakanlah kata-kata yang positif dan persuasif sehingga anak mau mendengarkan.

Jika mencari perhatian adalah alasan utama anak suka menggigit, maka orangtua harus memberikan waktu yang lebih banyak bersama sang anak, bisa dengan membacakan buku cerita atau bermain bersama.

Salah satu kemungkinannya karena ia belum pandai bicara alias mengekspresikan keinginannya. Tapi bisa juga karena ia meniru seseorang.

“Tadi Mas Adit nggigit temannya lagi, Bu,” begitu lapor sang babysitter sepulang mereka main sore di taman. Ibu Adit yang mendapat laporan seperti itu, jadi marah, “Adit, Mama, kan, sudah bilang, tidak boleh mengigit!” Yang dimarahi cuma tertunduk lesu. Kenapa Adit punya kebiasaan menggigit? Menurut psikolog Dra. Ery Soekresno , perilaku itu merupakan suatu ekspresi emosi. “Anak tahu, kok, kalau ia menggigit, korbannya merasa sakit. Hanya saja, ia tak tahu harus berbuat apa. Nah, satu-satunya cara, ya , menggigit.” Halus kasar gigitannya, kata Ery, juga tergantung tingkat emosi anak. “Kalau dia jengkel betul, si korban bisa digigitnya sampai berdarah. Ia juga akan mencari tempat yang paling gampang untuk digigit seperti bahu atau pipi.”

Dikatakan sebagai ekspresi emosi, tambah Ery, karena si anak merasa jengkel, marah, atau frustrasi. Bisa juga karena ia perlu perhatian, capek, dan lainnya. Jadi, emosi yang diekspresikannya, bersifat negatif. Nah, karena ia masih kecil, belum pandai berkata-kata untuk mengungkapkan rasa tak enak dalam dirinya, “Ia pun menggigit sebagai cara yang paling cepat yang dilakukannya. Jadi, menggigit itu pun sebenarnya sebagai alat komunikasi pada anak.”

Selain itu, menggigit juga dijadikan sarana sebagai cara memecahkan masalah jika ia dalam keadaan terjepit. Saat sedang asyik main, misalnya, tiba-tiba mainannya direbut temannya. Karena marah dan tak tahu bagaimana cara mendapatkan mainannya kembali, si teman digigit agar mainannya lepas dari tangan si teman. Dengan kata lain, “Ia menggigit sebagai cara untuk mempertahankan diri,” jelas lulusan Fakultas Psikologi UI ini.

BAHASA TERBATAS

Tapi jangan salah, lo. “Hobi” menggigit, bisa juga terjadi karena ia meniru. Misalnya saja, ayah atau ibunya suka mengekspresikan rasa sayang dan gemas mereka pada anak dengan cara menggigit-gigit si anak. Meski gigitannya lembut dan disertai kata-kata ungkapan sayang, yang anak mengerti hanyalah bahwa perilaku menggigit sah-sah saja. Maka ia pun meniru. “Makanya, kalau mau menunjukkan rasa sayang atau gemas, jangan dengan menggigit. Peluk, cium, tatap wajah anak dengan lembut, adalah tindakan yang benar.” Kalau yang dilakukan justru menggigit, ya, si anak akan belajar, “Oh, begitu, toh, cara menunjukkan rasa sayang.” Celaka, bukan?

Biasanya, anak usia 2,5 hingga 4 tahun, “hobi” menggigit. “Memang tak semua anak seperti itu. Umumnya, anak yang kemampuan beradaptasi dengan lingkungan barunya kurang, yang suka menggigit. Ia merasa takut pada lingkungan baru sehingga selalu dalam keaadan siaga. Begitu ada sesuatu yang tak berkenan padanya, ia pun langsung bereaksi dengan cara menggigit.”

Kecenderungan ini juga ada pada anak yang kemampuan berbicaranya belum bagus. Misalnya, jika si teman mendekat lalu mengambil mainannya. Kalau ia sudah pandai berkata-kata, mungkin ia akan bilang, “Jangan, dong! Itu punyaku!” Tapi karena bicaranya belum lancar, ya gigitannya tadi yang “bicara”. Begitu pula anak yang kurang mendapat perhatian atau tak pernah diberi kesempatan oleh orang tuanya untuk mengeluarkan isi hatinya.

Orang tua, tutur Ery, sering menghukum anak bila si kecil nakal. “Tapi anak jarang dikasih perhatian saat berbuat baik.” Begitu nakal, si ibu sibuk menasehati panjang-lebar. Jadilah si kecil sengaja berlaku nakal atau menggigit agar ia memperoleh perhatian ibunya. “Si anak berpikir, kalau tak menggigit, dia tak bakal diperhatikan ibunya. Meski perhatiannya dalam bentuk dimarahi atau dinasehati.”

TERAPI KATAKAN

Untunglah kebiasaan ini akan banyak berkurang, bahkan hilang dengan sendirinya, jika si anak sudah pandai bicara. Meski begitu, “Orang tua tetap harus memberi perhatian pada anak yang suka menggigit dan jangan berharap, toh, kebiasaan buruk itu bakal hilang dengan sendirinya.” Sebab, jika dibiarkan saja, “Bisa terlanjur menjadi kebiasaan. Sebab, si anak merasa, perbuatannya benar. Buktinya, ia tak pernah ditegur atau diberi penjelasan.”

Jadi, sedapat mungkin, usahakan selalu dekat dengan anak jika ia sedang main dengan temannya, misalnya. Awasi jangan sampai ia menggigit temannya. Jika si kecil “siap-siap” menggigit temannya, “Tarik dan jauhi dari temannya. Ajarkan padanya untuk mengatakan apa yang tak disukainya.” Misalnya, jika mainannya direbut, ajarkan si anak berkata, ” Jangan, ini punya aku. Enggak boleh diambil.”

Istilahnya, menurut Ery, anak diajarkan terapi “Katakan”. Tentu saja, dalam situasi si anak “terdesak”, jangan diajarkan kalimat yang panjang-lebar agar ia bisa segera mempraktekkan. Cukup ajari ia mengatakan, “Jangan. Enggak boleh.” Bagaimana kalau ia sudah terlanjur menggigit? Yang jelas, segera pisahkan ia dari temannya. Beri perhatian terlebih dulu pada korban. Kalau sampai berdarah, misalnya, bawa ke dokter atau obati. Jangan lupa pula meminta maaf kepada orang tua korban. Setelah itu, barulah giliran anak. Beri ia nasehat, “Kamu boleh marah, tapi nggak boleh menggigit. Digigit itu sakit. Kamu, kan, juga nggak mau digigit karena akan merasa sakit.”

Nah, kata “sakit” itu diulang-ulang agar si anak mengerti bahwa apa yang dilakukannya telah membuat sakit temannya. Agar si anak tak menggigit lagi, orang tua harus membuat aturan. Misalnya, ia boleh bermain dengan temannya tapi tak boleh menggigit. Ingatkan selalu pada aturan tersebut setiap kali si anak akan bermain dengan temannya.

DISIPLIN

Ery berpendapat, kurang bijaksana jika kita menghukum anak bila satu saat ia melanggar “perjanjian” yaitu kembali menggigit teman. Menghukum, kata psikolog ini, “Hanya menunjukkan kesalahan anak dan bukan memperbaiki tingkah lakunya.” Misalnya saja, ketika si anak usai menggigit, orang tua balas menggigit anak dengan maksud memberi tahu, betapa sakit jika digigit. “Cara ini tak benar. Anak akan berpikir, kok, ibuku juga menggigitku.” Tak perlu pula mengancam anak semisal, “Awas, ya, kalau menggigit lagi, Ibu pukul!”

Ery lebih setuju lewat disiplin. Sebab, disiplin akan membuat anak belajar bagaimana bertingkah laku yang baik. “Ada 3 komponen dalam disiplin, yakni aturan, komunikasi dan penguat positif maupun konsekuensi,” terangnya.

Dalam hal aturan, contohnya, seperti telah disebutkan di atas, anak boleh bermain tapi tak boleh menggigit. Untuk menyampaikan dan mensosialisasikan aturan tersebut pada si anak, orang tua harus punya kemampuan berkomunikasi. Selanjutnya, bila anak bermain dengan baik, ia perlu diberi penguat positif. Misalnya, pujian, pelukan, hadiah, atau apa saja yang dapat memperkuat tingkah lakunya.

Sedangkan konsekuensi diberikan bila anak tak bermain dengan baik. “Tapi konsekuensinya jangan terlalu kejam,” pesan Ery. Misalnya, anak menggigit anak tetangga, maka ia tak dibolehkan bermain ke rumah tetangga itu lagi. “Kan, bisa dengan cara lain. Misalnya, ‘mencabut’ untuk sementara waktu hal-hal yang disukai si anak seperti menonton film kartun, main game , dan lainnya. Konsekuensi semacam ini akan lebih terasa pada anak. Sebab hal itu adalah yang berarti bagi dirinya. Tapi bila diberi konsekuensi yang tak berarti, ya, percuma saja. Siapa tahu besok ia akan mengulangi perbuatan menggigitnya lagi,” tutur Ery.

Dengan adanya konsekuensi, anak diajarkan, menggigit itu tak enak. “Di sinilah anak diberi pilihan. Kalau baik, ia mendapat penguat positif. Kalau tidak, ia harus menerima konsekuensinya.” Sayangnya, orang tua sering tak menyadari hal itu. Bila tiba-tiba anaknya melakukan sesuatu perbuatan negatif, orang tua langsung memarahi dan menghukum. Tapi begitu anaknya baik, malah tak diperhatikan. “Dipikirnya, si anak sudah insyaf. Padahal tidak.”

Jadi, anjur Ery, ketika orang tua melihat anak tak menggigit lagi, beri ia pujian, “Bunda bangga sekali padamu. Hari ini kamu mainnya manis, enggak menggigit.”

HARGAI ANAK

Satu hal diingatkan Ery, anak yang suka menggigit tak boleh kaget. Maksudnya, tak boleh ada kejutan pada anak atau kegiatan yang tanpa persiapan. Misalnya, jika akan diajak ke suatu tempat, siapkan mentalnya terlebih dulu. Ceritakan seperti apa tempat tujuannya nanti. Beri aturan, apa yang diharapkan orang tua. Sebutkan tingkah laku-tingkah laku baik yang konkret dan yang diharapkan. Misalnya, “Kamu tak boleh menggigit atau berkelahi.” Dengan demikian, anak akan merasa nyaman karena sudah memperoleh gambaran situasi yang akan dihadapinya.

Saat anak sedang dalam situasi menyenangkan, ajaklah ia bicara. Ia pasti akan mendengarkan meski mungkin ia belum banyak mengerti apa yang dikatakan orang tua. Katakanlah apa yang tidak kita sukai bila ia menggigit dan bahwa hal itu juga berlaku sama pada orang lain. Misalnya, “Bunda tak suka bila kamu menggigit. Digigit itu sakit, lo. Teman-temanmu juga nggak akan suka. Mereka tak akan mau main denganmu lagi kalau kamu menggigit.”

Hal lain yang harus diperhatikan ialah, apa pun usaha anak dalam menghindari kebiasaan menggigit harus kita hargai. Misalnya, ia masih menggigit tapi sudah tak separah sebelumnya. Orang tua harus sabar. “Kan, bukan berarti hari ini menggigit dan hari ini juga harus hilang. Perlu proses dan waktu. Tapi sekali lagi, jika perubahan positif pada perilakunya, beri ia pujian.”

Kok, Masih Menggigit Juga

Boleh jadi si kecil masih akan menggigit kendati sudah diberi tahu. Apa yang terjadi? Pertama, karena anak usia ini belum bisa diajak bicara karena daya tangkapnya masih terbatas. Dunianya masih berpusat pada dirinya. Jadi, tak ada hal lain yang bisa kita lakukan kecuali bersabar. Apalagi, seperti dikatakan Ery, penelitian menunjukkan, perbuatan baik pada anak, harus diulang hingga 2.000 kali sehingga anak bisa menangkapnya. Tapi kalau perbuatan jelek, cukup sekali saja!

Bisa juga terjadi, ia kembali ke perilaku negatif itu karena sikap orang tua tidak konsisten. Misalnya, hari ini si anak menggigit, ia diberi konsekuensi tak boleh ikut ke rumah eyangnya. Tapi di hari lain si anak menggigit lagi, karena merasa tak tega meninggalkan si anak, maka diajaklah anaknya. Padahal, terangnya, “Sikap konsisten dari orang tua merupakan sebuah pelajaran bagi anak agar ia tahu, dampak dari tingkah lakunya bakal tak menyenangkan.”

Jika perilaku menggigit terjadi secara persistent (menetap) dan frekuensinya pun tinggi, berarti perlu penanganan serius. Anak perlu dibawa ke psikolog. Ia harus diperiksa, apakah ada kesulitan dalam bicara atau mungkin ada masalah dengan kemampuan mentalnya. “Biasanya anak cacat mental cenderung lebih lambat bicara dan frekuensi menggigitnya lebih tinggi. Bila dibawa ke psikolog, bisa dievaluasi psikologis, dilihat IQ, potensi kecerdasan dan kepribadiannya, apakah ia adaptasinya lambat dan sulit menerima perubahan,” terang Ery.

(sumber: Bunda Safa)

BELAJAR MELALUI BERMAIN

Leave a comment
Masih ada sebagian orang yang berpikir bahwa bermain hanya penting untuk mengisi waktu luang anak. Pandangan ini tentu saja tidak benar. Bermain merupakan ‘pekerjaan’ anak, dan alat yang digunakannya untuk ‘bekerja’ adalah alat permainannya. Melalui bermain dan permainan, anak belajar mengenali diri dan dunianya. Melalui bermain pula anak belajar, meneliti serta mengembangkan seluruh aspeknya yaitu fisik, kognitif, emosi dan sosial.

Sejalan dengan perkembangan motorik kasar dan halusnya, bayi usia 6-9 bulan memerlukan berbagai permainan untuk merangsang perkembangan motoriknya. Untuk itu diperlukan berbagai alat permainan yang tidak mudah pecah atau rusak. Karena pada usia ini, bayi juga belajar berbagai bunyi yang ditimbulkan oleh mainannya bila jatuh dan beradu dengan lantai.

Segera setelah bisa merangkak, bayi akan menjelajahi rumah. Apa saja yang ditemukan akan diperiksanya. Karena itu, apa saja yang berada di dalam lemari, di dalam keranjang atau kotak, perlu diperhatikan baik-baik. Jangan meletakkan benda-benda berbahaya di dalamnya. Lebih baik Anda meletakkan benda-benda yang bisa dimakannya dan tidak rusak bila ia melemparnya. Misalnya sendok makan, sendok nasi atau sendok sayur, panci bekas yang tidak rusak, atau karton kemasan susu, yang dapat pula digunakannya untuk bermain.

Melalui alat-alat permainan yang Anda sediakan, bayi akan meniru apa yang Anda lakukan. Bila anak bermain di dekat Anda saat Anda sedang menyiapkan makannya, ia pun akan paham bahwa peralatan yang dipegangnya (sendok, misalnya) dapat digunakan untuk melakukan sesuatu.

HATI-HATI BABY WALKER

2 Thoughts

The American Academy of Pediatrics (AAP) tidak menyarankan penggunaan baby walker, karena mempermudah bayi tergelincir dan dapat menyebabkan gangguan perkembangan otot tungkai atas yang justru menyebabkan keterlambatan proses berjalan. Selain itu, anak jadi mudah meraih barang-barang di tempat yang lebih tinggi, seperti air panas, benda tajam, dsb.

Penelitian di Amerika Serikat tahun 1999 menyatakan terdapat 8800 kasus dalam satu tahun pada anak usia kurang dari 15 bulan yang berhubungan dengan kecelakaan akibat baby walker. Kebanyakan kasus diakibatkan anak tersebut jatuh dari tangga yang menyebabkan cedera kepala. Baby walker tidak membantu anak belajar berjalan, sebaliknya alat tersebut dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan mental dan motorik.

“Yang terpenting adalah dukungan agar anak semangat dan rajin berlatih, karena berjalan merupakan suatu proses pembelajaran yang cukup panjang”

 

(sumber: Majalah Anakku)

LANCAR BICARA

Leave a comment

Berkali-kali si 1-2 tahun berkata “Naik ta pucung.” Tahukah Anda apa maksudnya? Setelah mencoba memahami, barulah Anda tahu, ternyata si kecil mau menyanyi lagu “Naik-naik ke puncak gunung”.

Anak usia satu tahun memang ceriwis, tapi kata-katanya sering bikin orang lain bingung. Selain itu dia juga sering kesulitan mengutarakan keinginannya sehingga Anda tak kunjung paham ucapannya. Bantu si kecil lancar berbicara, karena dengan berinteraksi dengan orang tua atau anggota keluarga lainlah si kecil bisa belajar berkomunikasi dengan baik.

  • Tatap wajahnya

Si kecil perlu melihat gerak mulut Anda saat Anda berkata-kata, sehingga ia punya kesempatan belajar memproduksi kata-kata dengan membaca gerak mulut Anda dan menirukannya. Hindari berbicara sambil berlalu atau berbicara dari ruang lain. Turunkan tubuh Anda sehingga sejajar dengan anak, dan tatap matanya saat Anda berbicara.

  • Bukan bahasa bayi

Hindari ikut-ikutan berbahasa bayi, “susu” jadi “cucu”, atau “sayang” jadi “cayang”. Si kecil adalah peniru ulung, sehingga ia akan belajar bahasa yang benar jika Anda berbahasa yang baik dan benar. Jika ia masih cadel, betulkan dengan mengulangi ucapannya. Misalnya dia mengatakan, “Mau cucu,” Anda ulangi ucapannya “Oh, Alya mau susu?”

  • Bicara perlahan

Di usia 1 tahun, perbendaharaan kata si kecil baru sekitar 100 kata sehingga butuh waktu untuk memahami perkataan Anda. Berbicara lebih perlahan, jangan samakan seperti Anda berbicara dengan orang dewasa.

  • Ajukan pertanyaan

Hindari pertanyaan bertubi-tubi, misalnya “Apa ini? Apa yang kamu lakukan? Kenapa begitu?” Bisa-bisa si kecil akan semakin bungkam. Ajukan satu pertanyaan mengenail hal-hal yang disukainya, lalu tatap wajahnya, tunjukkan bahwa Anda menunggu jawabannya.

  • Kata-kata biasa

Perbendaharaan katanya masih terbatas, jangan gunakan kata-kata yang sulit dan jarang digunakan seperti, menawan atau rupawan. Sebaiknya pilih kata-kata seperti cantik, indah atau bagus. Hindari menggunakan bahasa ‘gado-gado’, misalnya bahasa Indonesia campur bahasa Inggris atau bahasa daerah. Ini tidak membantu anak menguasai kedua bahasa itu dengan baik.

  • Eskpresif

Gunakan nada riang, tidak datar tapi juga dengan suara yang keras. Beri tekanan pada kata-kata tertentu, apalagi pada kata-kata yang masih sulit atau masih salah diucapkan si kecil. Sebaiknya Anda gunakan kalimat sederhana yang mudah ditangkap oleh anak, misalnya, “Habis mandi, kita main, yuk.”

  • Narasikan

Ucapkan dengan jelas apa yang Anda lakukan saat Anda bermain atau melakukan kegiatan apapun bersama si kecil. Misalnya, Anda sedang meyiapkan makanan untuk si kecil, “Ibu ambil nasi buat Alya, taruh di piring. Sekarang ibu mau mengambil sayurnya.”

  • Bahasa tubuh

Hal ini untuk memperjelas maksud Anda dan ekspresi Anda ditangkap si kecil. Penelitian Universitas Chicago (2009) mengungkap, penggunaan bahasa tubuh bisa meningkatkan perbendaharaan kata. Anak usia 14 bulan yang sering menggunakan bahasa tubuh seperti melambaikan tangan saat berpisah, atau yang orang tuanya suka menggunakan bahasa tubuh saat berbicara padanya, akan memiliki perbendaharaan kata yang lebih banyak di usia 4,5 tahun.

  • Kalau ia tak mendengar

Pastikan si kecil memperhatikan wajah Anda saat Anda berbicara. Ia akan meniru cara Anda membuka mulut dan mencoba mengucapkan kata yang Anda ucapkan. Tetap berbicara perlahan dan tidak perlu berteriak. Bila si kecil mengalami gangguan pendengaran, berbicaralah dekat di telinganya. Jarak Anda dan si kecil saat berbicara sebaiknya tidak lebih dari 2 meter agar dia masih bisa melihat gerakan bibir Anda. Untuk anak yang mengalami gangguan pendengaran ringan, singkirkan suara-suara yang mengganggu, seperti matikan televisi atau radio saat mengajaknya bicara.

(sumber: Polah Balita seri Ayahbunda)

MAKANAN DAPAT MENSTIMULASI KEMAMPUAN BICARANYA

Leave a comment

Kita sering kali mendengar tentang kemampuan motorik anak, baik itu motorik halus maupun motorik kasar. Orang tua banyak mengajak anaknya bermain balok untuk melatih motorik halus, atau berlari dan bermain sepeda untuk melatih motorik kasar. Tapi tahukah Anda mengenai istilah motorik oral yang tidak kalah pentingnya untuk tumbuh kembang si Kecil?

Perkembangan motorik oral atau oromotor merupakan salah satu perkembangan yang penting dalam milestone perkembangan anak. Motorik oral atau oromotor adalah sistem gerak otot yang menyeluruh dalam mulut, rahang, lidah, bibir, gigi dan pipi. Pergerakan dan koordinasi struktur ini sangat penting dalam kemampuan bicara, proses menelan yang aman, merangsang pertumbuhan gigi, dan makan berbagai tekstur makanan.

Gangguan oromotor juga sering diasosiasikan dengan perilaku makan, kemampuan verbal, dan juga kualitas hidup anak tersebut. Terlihat bahwa anak yang gerakan oral motornya buruk sebelum usia dua tahun, juga memiliki kemampuan bahasa yang buruk. Untuk itu keterampilan oromotor anak harus dilatih sedini mungkin sesuai dengan usia perkembangannya. Keterampilan oromotor anak dapat dilatih dengan memilih ukuran, tekstur dan rasa makanan yang tepat untuk setiap usia perkembangan tertentu.

Berikut tahapan perkembangan oromotor sesuai usia si Kecil:

0-6 bulan :

Mengisap ASI atau dot

Makanan: cair

4-6 bulan

Pengenalan sendok dan makan secara pasif

Makanan: halus

5-7 bulan

Bibir atas bergerak untuk menyapu sendok, muncul refleks mengunyah, pengenalan gelas, dan gerakan mengisap masih ada

Makanan: cair, halus, biskuit

8-12 bulan

Bibir atas bergerak aktif, muncul gerakan mendorong makanan ke gigi

Makanan: lunak/tim

12-18 bulan

Lidah bergerak ke kedua sisi mulut, mengunyah dengan gerakan rahang berputar, menyapih botol/dot atau ASI, dan menggigit gelas

Makanan: setengah padat, cincang, atau mudah dikunyah

(sumber: Majalah Ayahbunda)

SI TUKANG PUKUL

Leave a comment

“Plok!” tiba-tiba telapak tangan Mike mendarat keras di lengan kanan Aditya, sepupunya. Mike kesal lantaran mobil balap mainan favoritnya diambil Aditya tanpa permisi.

Memukul merupakan reaksi alami saat seseorang merasa kesal, marah atau frustasi. Maka tidak aneh jika di usia ini anak-anak sering saling pukul. Ini dimaklumi karena mereka:

  • Belum tahu cara tepat mengekspresikan rasa marah atau kesal.
  • Mulai menyadari fungsi dan kekuatan tangannya. Dengan memukul, ia tahu reaksi lawannya.
  • Belum bisa bicara. Bicara adalah ekspresi verbal. Anak yang belum bisa bicara menggunakan bahasa tubuh untuk menyampaikan maksudnya.
  • Kelebihan energi dan tidak tahu cara menyalurkannya.
  • Tidak tahu akibat pukulannya terhadap korban.

Meski anak punya alasan untuk memukul, bukan berarti Anda mengizinkannya main pukul untuk mengekspresikan perasaan atau menyalurkan kelebihan energinya. Berikut cara mengajak si kecil untuk stop memukul.

  • Hindari teriakan “Jangan Pukul!”

Teriakan Anda bukan cara tepat untuk melarang. Anda perlu bicara tegas, diikuti penjelasan, tapi bukan berteriak. Misalnya, “Mike, jangan pukul Aditya ya. Karena Aditya bisa sakit.” Dari cara ini, anak dapat mendengar pesan Anda dan mencerna penjelasan Anda tanpa perlu harus mendengar teriakan Anda.

  • Ganti pukulan dengan kalimat

Ganti perilaku memukul dengan cara lain. Misalnya, ajarkan ia kata-kata seperti, “Jangan ambil!”, “Ini punya aku!”, “Tidak boleh!”, atau “Pergi!”. Sehingga, saat teman si kecil merebut mainan yang sedang dimainkan, ia dapat mengatakan kata-kata itu, sebagai bentuk pembelaan dirinya, bukannya memukul.

  • Terapkan dan konsisten pada aturan

Saat si kecil kembali memukul orang lain, Anda harus tetap tegas melarangnya. Konsistensi Anda akan melatih anak menjalani aturan. Bila sekali saja Anda membiarkan anak memukul temannya atau malah menyuruhnya memukul temannya karena ia dipukul, Anda gagal melatihnya. Si kecil bisa bingung dengan peraturan yang Anda buat, apakah dia boleh memukul atau tidak.

  • Berlakukan untuk semua orang

Minta orang di sekitar anak untuk mengikuti aturan yang Anda terapkan, seperti baby sitter, paman, bibi, kakek, nenek atau bahkan pasangan Anda sendiri. Ia belajar dari contoh. Bila orang lain di sekitarnya masih ada yang suka memukul, ia pun akan melakukannya.

  • Akui perasaannya

Jadilah orang tua yang berempati pada perasaan si kecil. Jangan hanya memarahi perilakunya, tapi usahakan mengakui perasaan marah atau kesalnya. Anda bisa katakan “Adik boleh kok marah karena mainannya direbut. Tapi tidak perlu memukul teman. Nanti dia bisa sakit. Minta saja mainannya kembali.” Tujuannya agar ia tidak menekan rasa marah atau kesalnya sendiri.

  • Salurkan hobi pukulnya

Cara ini berlaku untuk anak yang hobi memukul karena kelebihan energi. Coba salurkan dengan kegiatan seperti bermain drum, bermain tenis dengan raket mainan, atau memukul karung pasir khusus anak-anak. Bila si kecil sudah terpuaskan dengan kegiatan ini, kebiasaan memukul orang lain akan berkurang.

(sumber: Majalah Ayah Bunda)

Coba Sentuh (1-2 tahun)

Leave a comment

Si 1-2 tahun membutuhkan banyak perbendaharaan tekstur benda, untuk membantu mengasah indra perabanya. Karena itu kenalkan sebanyak mungkin benda dengan tekstur yang berbeda-beda.

Di Taman

Daun dan Bunga: Sentuhkan jemari si kecil pada aneka jenis daun segar, daun kering, serta beragam bunga

Batang: Temukan batang pohon bertekstur kasar dan halus. Minta anak memeluk dan mengusap-usap batang untuk merasakan keras, kasar maupun lembutnya tekstur pohon.

Tanah rumput, batuan dan pasir: Lepaskan alas kaki si kecil (jangan takut kotor), ajak dia mengunjak rumputm tanah, bebatuan dan pasir. Cobakan juga tanah basah, agar anak merasakan tanah melekat di kakinya. Beritahu anak nama benda yang dia injak dan teksturnya.

Sensasi Udara: Bisa dirasakan anak saat ia main ayunan, hembusan angin di kulitnya akan terasa nyaman.

Perhatikan!! Kondisi tanah, bebatuan dan pasir. Pastikan tidak ada benda tajam yang bias menyakiti telapk kaki.

Bermain Air

Tekstur dan sifat air: Eksplorasi air bisa dilakukan si kecil saat Anda memandikannya. Tangan dan kakinya memukul air, mengambil gayung/shower untuk membasahi tubuhnya sendiri. Ditambah bubble bath, dia bisa merasakan air dan busa.

Suhu air: Sediakan juga air dingin agar ia bisa membedakan suhu air

Perhatikan!! Suhu air. Gunakan air hangat bila ingin membiarkan si kecil bermain air agak lama, Bila si kecil mulai membiru, langsung angkat. Perhatikan pula polahnya, agar tidak ada air yang terminum atau masuk ke hidung dan telinga.

Mainan

Tekstur boneka: plastik, kain, bulu dan rambut boneka

Tekstur mobil-mobilan: yang terbuat dari logam. Ia juga mengenal keras, berat dan agak dingin. Roda mobil-mobilan yang terbuat dari plastik atau karet serta ada serabut-serabut dan tonjolan-tonjolan halus, bisa dirasakan si kecil saat merabanya.

Perhatikan!! Bahan paku mainan si kecil, patikan terbuat dari bahan yang tidak berbahaya. Bila sewaktu-waktu si kecil memasukkannya ke dalam mulut, tidak menimbulkan bahaya.

Membaca buku

Buku bertekstur: Di dalam buku itu terdapat gambar dengan bahan-bahan bertekstur seperti kain berbulu, kain halus, kain kasar, plastik dan karet. Ajak si kecil meraba dan merasakan tekstur-tekstur gambar di buku. Biarkan beberapa saat ia menikmati teksturnya. Katakan berulang-ulang jenis tekstur yang sedang ia pegang.

Perhatikan!! Pastikan bagian buku tidak ada yang rusak